Beberapa hari lalu, saya bertemu dengan seseorang yang marah di kereta. Dia marah gara-gara seseorang lain yang duduk memberikan kursi kepada ibu hamil, bukan kepada dia yang merasa dirinya sudah tua.
“Gue tua, tapi pendek jadi nggak dikira bocah kali ya,” katanya kepada seorang teman yang duduk di hadapannya.
Keesokan harinya dan keesokan harinya lagi, saya bertemu dengan orang yang sama. Ternyata dia masih saja suka marah-marah. Ada saja sesuatu yang salah di mata dia, entah udara di dalam kereta yang panas atau kondisi kereta yang penuh sesak. Saat dia mengeluh, saya memandanginya sambil mengumpat di dalam hati, dasar negaholic.
Agar tidak bertemu lagi dengan dia di hari berikutnya, saya mencoba naik kereta di gerbong berbeda. Saya memutuskan untuk mengubah kebiasaan karena saya merasa sangat lelah berada di dekatnya.
Rasa lelah mungkin muncul karena emosi negatif itu menular. Dia telah menjadi biang negatif di tengah kerumunan kaum pinggiran yang hendak mencari nafkah di tengah kota. Beruntung, saya masih punya kesempatan untuk membentengi diri dengan bergeser ke gerbong sebelah.
Saya nggak bisa ngebayangin, apa jadinya bila saya tidak punya pilihan? Saya mungkin akan jadi negaholic juga seperti dia, saban hari. Kalau sudah begini, pekerjaan saya bisa terbengkalai karena mood saya berantakan.
Lantas bagaimana kalau bertemu dengan orang semacam itu di media sosial, yang sepanjang hari marah dan setiap detik mengeluh? Kalau dia sudah cukup mengusik, saya telah mem-block akun pribadinya.