
Kalau dia tidak pernah ada buat kamu, kenapa masih bertahan?
Kalau pertanyaan itu tiba-tiba dilemparkan di hadapan kamu, apa jawaban yang bakal kamu berikan? Belum lama ini, aku mengajukan pertanyaan itu di Instagram Stories. Dari 184 orang yang melihat, ada 10 yang menjawab.
Dari itu semua, ada satu jawaban yang membuat aku terenyuh. Jawaban itu berbunyi: Karena sudah terikat perkawinan sekali seumur hidup… dan juga demi anak-anak yang masih perlu figur ibu dan ayah.
Lewat tulisan ini, aku ingin berterima kasih untuk teman-teman yang sudah menjawab. Aku juga mau menarik kesimpulan dari pertanyaan dan jawaban tentang bertahan.
Pertama-tama, aku ingin sekali memeluk seorang teman yang sedang bertahan demi anak-anak. Semoga pertahanan yang kamu bangun dari sekarang berbuah hasil, dan anak-anak selalu sehat dan ceria.
Selanjutnya, aku mau fokus pada jawaban tiga teman yang serupa, yaitu bertahan, karena berharap dia bakal berubah.
Dari jawaban kalian, aku percaya kalian manusia baik. Namun, cinta bisa dilihat perilaku. Salah satunya, yaitu meluangkan waktu untuk kegiatan bersama.
Kalau kamu berharga baginya, dia bakal meluangkan waktu buat kamu, tanpa dalih apa pun.
Kalau dia tidak pernah mau bertemu, pelit kirim WhatsApp/Line atau dibaca doang, itu berarti kamu tidak berharga baginya.
Kalau sudah jelas begitu, kenapa kamu masih bertahan? Apakah kamu berharap kasih sayang kamu buat dia bisa mengubahnya?
Bagaimana kalau dia tidak bisa berubah, karena dia tidak mau? Karena itu sudah menjadi kebiasaan yang mendarah daging? Karena mengubah kebiasaan makan yang bertahun-tahun pakai kecap asin, tiba-tiba disuruh pakai kecap manis itu sulit?
Oke, kamu mungkin bakal terus berjuang. Namun, ada satu konsekuensi. Dia bisa saja tiba-tiba menghilang, karena berubah tidak ada di kamusnya, dan kamu terluka.