Pernahkah kalian berpikir tentang infertilitas—yang bisa dialami baik oleh perempuan maupun laki-laki—sebagai sebuah penyakit, bukan gangguan kesuburan?
Jujur, aku sendiri sempat ragu dalam menjawab pertanyaan tersebut. Ketika mendengar kata “penyakit”, otak aku otomatis berpikir tentang diabetes, penyakit kardiovaskular, stroke, kanker, dan lainnya. Infertilitas? Rasanya gak pernah masuk dalam daftar itu.
Banyak orang mungkin juga sama seperti aku, menganggap infertilitas adalah gangguan kesuburan. Karena dipersepsikan seperti itu, infertilitas sering kali gak dianggap sebagai sesuatu yang mendesak. Akibatnya, banyak pasangan baru menyadari masalah ini saat usia mereka sudah gak lagi muda.
Kondisi ini pun bisa berdampak pada berbagai aspek kehidupan—dari hubungan dengan pasangan, kesehatan mental, produktivitas kerja, kehidupan sosial, kesehatan fisik, hingga kondisi finansial.
Jadi, kalau melihat semua dampak ini, apakah infertilitas masih bisa dibilang sebagai gangguan kesuburan?
Menurut dr. Muhammad Dwi Priangga, Sp.OG, Subsp.FER, Direktur PT Kato Ojin Group sekaligus Kepala Klinik KOIC, infertilitas jelas merupakan penyakit. Hal ini ia tegaskan dalam konferensi pers "Mild Stimulation dalam IVF: Stimulasi Minimal, Hasil Maksimal – Langkah Pasti Menuju Garis Dua."
“Infertilitas didefinisikan sebagai ketidakmampuan pasangan untuk hamil setelah 12 bulan berhubungan seksual secara teratur tanpa kontrasepsi, atau 6 bulan jika perempuan berusia 35 tahun ke atas,” ujar dr. Angga di acara yang aku hadiri pada Rabu (19/3).
Mengenal Apa Saja Penyebab Infertilitas
![]() |
Ilustrasi. (Foto: Freepik) |
Penyebab infertilitas pun beragam. Pada perempuan, bisa karena infeksi, endometriosis, gangguan menstruasi, usia yang semakin bertambah, miom, PCOS, atau pola hidup yang kurang sehat.
Sementara pada laki-laki, bisa dipicu oleh kualitas sperma yang buruk, infeksi, kebiasaan merokok dan mengonsumsi alkohol, serta faktor genetik. Bahkan, dalam 15-20 persen kasus, infertilitas terjadi tanpa penyebab yang jelas atau disebut infertilitas idiopatik.
Menghadapi fakta ini, kesadaran akan kesehatan reproduksi perlu ditingkatkan. WHO melaporkan bahwa sekitar 17,5 persen populasi dewasa—setidaknya satu dari enam orang di dunia—mengalami infertilitas.
Di Indonesia sendiri, dr. Angga menyampaikan bahwa data dari Perhimpunan Fertilisasi In Vitro Indonesia (PERFITRI) menunjukkan bahwa 4-6 juta pasangan mengalami kesulitan untuk hamil secara alami. Angka ini menunjukkan betapa pentingnya akses terhadap layanan kesuburan yang terjangkau dan berkualitas.
dr. Muhammad Dwi Priangga, Sp.OG, Subsp.FER, Direktur PT Kato Ojin Group sekaligus Kepala Klinik KOIC. (Foto: Birgitta Ajeng) |
"Jika pasangan telah terdiagnosis mengalami infertilitas, langkah selanjutnya adalah memilih metode yang tepat untuk meningkatkan peluang kehamilan. Salah satu metode yang umum digunakan adalah In Vitro Fertilization (IVF) atau bayi tabung, yaitu proses pembuahan yang dilakukan di luar tubuh," kata dr. Angga.
Keberhasilan IVF dipengaruhi oleh banyak faktor, seperti usia, kualitas embrio, cadangan sel telur, kondisi rahim, dan gaya hidup—termasuk pola makan, tingkat stres, kebiasaan merokok, serta berat badan.
Dengan semakin banyaknya pasangan yang menghadapi tantangan ini, penting bagi kita untuk menggeser paradigma dan memahami bahwa infertilitas bukan gangguan, melainkan penyakit yang memerlukan perhatian dan penanganan serius. Kesadaran dini dan gaya hidup sehat bisa menjadi langkah awal untuk meningkatkan peluang memiliki buah hati.
Untuk para pejuang garis dua, perjalanan ini mungkin gak mudah, tetapi harapan selalu ada. Jangan ragu untuk mencari dukungan, tetap percaya, dan beri ruang bagi diri sendiri untuk beristirahat di tengah ikhtiar yang dijalani. ❤️
0 Comments